Jika dilihat dari sudut perekonomian dan tatanan kenegaraan, China telah melewati tiga fase panjang dalam sejarah perekonomian maupun kenegaraannya setelah bangsa ini berubah menjadi negara reformasi. Fase pertama berkisar pada tahun1946-1976, merupakan era Mao Zedong. Negara China pada masa kepemerintahan Mao cenderung tetutup dari politik luar negeri maupun perekonomian luar negeri. Segala kebijakan yang berkenaan dengan politik, budaya, maupun pendidikan hanya diputuskan di pusat pemerintahan, yakni di Beijing dan dilandaskan pada ajaran Mao (Maoisme). Atas ketertutupan inilah maka China dijuluki sebagai “Negara Tirai Bambu”.
Fase kedua yang berkisar pada tahun 1978-2008 merupakan fase kepemimpnan Deng Xioping. Pada masa kepemimpinannya negara China cenderung terbuka baik dalam perekonomian maupun dalam berpolitik di kancah domestik maupun internasional. Deng Xiaoping merupakan pemimpin yangsangat dikagumi rakyat dalam kepemimpinannya. Kepandaiannya dalam berpolitik dan berdiplomasi sangat hebat.
Seorang negarawan Malaysia, DR.Mahathir Muhammad dalam A Globalization With Commen Development (Oktober 2001) mengatakan “Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa salah satu pria terhebat abada ke-20 adalah Deng Xiaoping, bapak dari empat modernisasi China. Petuah-petuahnya harus selalu ada di benak kita bila berbicara tentang isu-isu besar dunia, bahkan untuk selamanya”.
Dari pernyataan DR. Mahathir telah digambarkan betapa besarnya sosok pemimpin Deng Xiaoping dimata kawan maupun lawan berpolitiknya. Pemimpin China yang satu ini juga memberikan andil yang besar atas kebijakan-kebijakan yang diambil oleh keputusan pemerintah pusat. Dalam perekonomian misalnya, Deng berani mengambil suatu kebijakan yang krusial, yakni sedikit melenceng dari rambu-rambu faham sosialis. Deng berkata dalam pidato kenegaraannya “Tidak penting seekor kucing itu berwarna hitam maupun putih, yang penting adalah seekor kucing bisa menangkap tikus”.
Ucapan Deng tersebut ditujukan untuk menanggapi kritikan negara-negara sosialis yang tidak mengakui kepemilikan maupun kekayaan individu, meliputi negara-negara bekas Uni Soviet. Pada awalnya, China merupakan negara yang berfaham sosialis dalam tatanan perekonomian mereka, namun Deng memerintahkan orang-orang pemerintahan di bawahnya untuk mengambil beberapa kebijakan yang baik dan bisa mendatangkan keuntungan bagi negaranya, walaupun harus bertentangan dengan kebijakan kaum sosialis pada umumnya. Namun China masih mengklaim dirinya sebagai negara sosialis dan kebijakan perekonomian yang diambil juga mayoritas mencerminkan kesosialismenya.
Selain kebijakan di bidang perekonomian, Deng juga mengambil kebijakan di dalam menanggulangi masalah over-population. Deng menerapkan kebijakansatu anak bagi setiap keluarga di China. Kebijakan yang kemudian dijadikan sebagai peraturan negara, diambil atas dasar kekhawatiran pemerintahan terhadap meledaknya jumlah penduduk di China. Akan tetapi kebijakan ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan pemerintah. Peraturan satu anak hanya berjalan dipusat-pusat perkotaan, sementara di desa dan daerah-daerh pelosok masih belum bisa dilaksanakan oleh masyarakat. Mengingat pada waktu itu pedesaaan cenderung membutuhkan anak laki-laki untuk menggarap tanah yang warga miliki. Kepemerintahan Deng juga membuat revolusi dibidang pendidikan. Pada awal mula dia memerintah Republik Rakyat China, Deng sangat memperhatikan pendidikan di negaranya. Deng berkata dalam pidato di depan masyarakat China (1978) : “Bila China ingin memodernisasi perindustrian, pertanian, dan pertahanan, maka yang harus dimodernisasikan dulu adalah sains dan teknologi serta menjadikannya kekuatan produktif”.
Fase ketiga adalah masa-masa generasi penerus, pada tahun 1992-2003 China diperintah oleh Jiang Zemin/ Zhu Rongji dan diteruskan lagi oleh duet HuJianto/ Wen Jiabo sejak tahun 2003 sampai sekarang. Hu/ Wen tetap menjalankan landasan-landasan dan juga cita-cita yang dirintis oleh Deng Xioping. Kebijakan-kebijakan yang diambil Hu/Wen mencerminkan betapa Deng sangat hidup di hati masyarakat China. Hu/Wen juga bisa menghantarkan China hingga saat ini. Keberhasilan China dalam perekonomian sudah terbukti kredibilitasnya. Terbukti sejak tahun 1980 hingga saat ini China masih terus tumbuh dengan rata-rata angka pertumbuhan perekonomian yang hampir mencapai dua digit setiap tahunnya. Perindustrian China telah melakukan terobosan-terobosan baru dalam memasuki pasar perindustrian. Semua ini didukung oleh sumber daya manusia yang tinggi juga aliran dana yang masuk dari kalangan investor baik investor domestik maupun luar negeri.
Besarnya FDI (Foreign Direct Investment) yang masuk ke negeri China menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya perindustrian China yang modern. Dengan kuatnya modal yang dimliki China, maka perindustrian akan terbantu karena ada dana yang cukup besar untuk menggerakan sektor produksi China yang tentunya akan meningkatkan PDB (Produk Domestik Bruto) sehingga mampu meningkatkan perekonomian. China sangat pintar dalam menarik investor asing untuk berinvestasi, tercatatpada awal Maret 2009 China mendapatkan kurang dari 100 juta dolar FDI yang berpengaruh 3,4% dari total keseluruhan PDB. Mayoritas dari FDI ini datang dari negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, Hongkog, maupun investor yang notebene adalah penduduk keturunan China yang tinggal di belahan dunia.
Masalah yang terkait dengan kebijakan kependudukan.
Ada banyak masalah yang terkait dengan kebijakan dan program yang ditetapkan oleh pejabat RRC. Pertama, program ini sulit untuk diterapkan dan hanya menghadirkan sedikit kesuksesan. Pejabat lokal yang bertanggung jawab atas total pertumbuhan telah memalsukan laporan untuk menghindari hukuman. Akibatnya, tidak adanya laporan jumlah kelahiran sebanyak 27% pada tahun 1992. Selain itu, sesuai dengan sistem kuota kelahiran masih rendah. Dari 14.808 bayi lahir antara 1980-1988, hanya sekitar setengah yang memiliki izin kelahiran sesuai hukum. Mereka yang lahir dengan legal, 88% adalah anak pertama yang kemudian diizinkan lahir. Selanjutnya, jika anak kedua lahir, hanya 11% yang diizinkan. Terakhir, orang-orang dari masyarakat pedesaan, yang ingin memiliki keluarga yang lebih besar untuk membantu peternakan keluarga, tidak bisa mentaati sistem kuota kelahiran.
Konsekuensi sosial dan politik.
Pemerintah RRC juga harus berurusan dengan pergolakan politik dan sosial sebagai akibat dari kebijakan yang ketat. Amerika Serikat, serta banyak negara lain, secara terbuka telah menyatakan tidak setuju mereka dengan para pemimpin China untuk kebijakan sterilisasinya. Akibatnya,pemerintah China telah mengambil kebijakan “daughter only household ” yang memungkinkan pasangan pedesaan yang awalnya memiliki anak perempuan pertama diizinkan untuk memiliki anak kedua.
Simpulan
Loyalitas para keturunan China terhadap negara nenek moyangnya memang tidak diragukan lagi. Sebanyak 68,3% dari FDI berasal dari Hongkong, 9,3% berasal dari Taiwan dan sisanya dari investor negara lain yang juga mayoritas merupakan keturunan penduduk China yang berhasil di negara-negara lain. Di sinilah sebenarnya kekuatan China, selain kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam urusan birokrasi yang sangat mudah, solidaritas dari penduduk keturunan China yang tinggal di negara lain memiliki pengaruh yang signifikan dalam menggapai cita-cita China, yaitu mencapai kemakmuran perekonomian dan menjadi macan Asia bersama Korea dan Jepang yang telah mendahului mereka sebelumnya..
Penulis: Drs. Rosyidin, MM, MMKU
Kepala Seksi Pengolahan Data Dan Informasi